Jakarta, Unbox.id – Baru-baru ini telah muncul tulisan yang cukup ‘viral’ dari seorang manajer perusahaan kecerdasan buatan OpenAI yang mengundang banyak opini. Ia telah merilis artikel dengan judul “percakapan pribadi yang cukup emosional”.
Artikel tersebut ia tulis dengan chatbot ChatGPT yang ada di perusahaan tempat ia bekerja. Informasi tersebut muncul di postingan X salah satu pengguna dengan nama Lilian Weng. Ia menulis caption “Belum pernah mencoba terapi sebelumnya, mungkin ini jawabannya?”
Meski banyak yang menanggapinya negatif, akan tetapi pendapat Weng tersebut hampir senada dengan sebuah penelitian di Jurnal Nature Machine Intelligence. Di mana penelitian tersebut menjelaskan tentang kecerdasan buatan versi placebo effect dalam terapi.
Kecerdasan Buatan Memiliki Respon Variatif Terhadap Pasien
Dalam penelitian tersebut, tim yang terdiri dari peneliti Massachusetts Institute of Technology (MIT) serta Arizona State University mengambil 300 peserta sebagai sampel. Kelompok pertama mengatakan bahwa chatbot tersebut memberikan rasa empati.
Baca juga: WhatsApp Segera Hadirkan Fitur Switch, 2 Akun untuk 1 Ponsel
Kemudian, kelompok kedua mengatakan bahwa chatbot ini cukup manipulatif, serta kelompok terakhir mengatakan chatbot itu bersifat netral. Kesimpulannya, dalam batas tertentu, kecerdasan buatan ini dapat menjadi teman bicara yang terpercaya.
Seiring dengannya, saat ini pun banyak platform yang menawarkan chatbot AI sebagai fitur terapi, persahabatan, serta dukungan kesehatan mental. Ini menjadi peluang bisnis yang sangat besar untuk banyak perusahaan yang bergerak di bidang teknologi.
Pro Kontra Fungsi Chatbot Sebagai Terapis
Namun bidang ini masih menjadi sumber kontroversi. Seperti sektor lain yang terancam karena persaingannya dengan kecerdasan buatan. Para pengamat khawatir bahwa bot pada akhirnya akan menggantikan pekerja manusia dan bukannya melengkapi mereka.
Dan dalam hal kesehatan mental, kekhawatirannya adalah bahwa bot tidak akan mampu melakukan tugasnya dengan baik. Sebagaimana ungkapan seorang aktivis dan programmer, Cher Scarlett, dalam postingannya di X menanggapi unggahan Weng.
Baca juga: Galaxy A05s Hadir di Pasar India, Simak Informasinya
“Terapi adalah untuk kesejahteraan mental dan ini adalah kerja keras. Menganggap diri sendiri itu baik-baik saja, tetapi itu tidak sama.”
Risiko Besar Chatbot Kecerdasan Buatan untuk Terapi
Selain itu, terdapat risiko ancaman lain yang dapat timbul dari teknologi terbaru ini. Risiko tersebut adalah beberapa aplikasi di bidang kesehatan yang mengandalkan kecerdasan buatan memiliki catatan sejarah yang cukup buruk.
Banyak pihak yang telah lama mengeluh bahwa kecerdasan buatan tersebut dapat terobsesi dan melakukan pelecehan terhadap seks. Secara terpisah, lembaga nonprofit AS bernama Koko menjalankan eksperimen pada bulan Februari dengan 4.000 klien.
Hasilnya, respon otomatis dari chatbot GPT-3 yang menjadi objek eksperimen tersebut tidak menjalankan fungsinya sebagai terapis. Empati yang disimulasikan terasa aneh, hampa, sebagaimana ungkapan salah satu pendiri perusahaan Koko tersebut, Rob Morris di X.
Kesimpulan
Para peneliti MIT/Arizona mengatakan masyarakat perlu memahami narasi seputar AI.
“Cara AI ditampilkan kepada masyarakat penting karena mengubah cara AI dirasakan,” argumen makalah tersebut.
“Mungkin diinginkan untuk membuat pengguna memiliki ekspektasi yang lebih rendah atau lebih negatif.”
Sumber: Gulfnews
Karya yang dimuat ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi unbox.id.